Mendidik anak kadang mirip mengasah sebuah pisau. Butuh
ketelitian dan kehati-hatian. Kalau tidak, bukan sekadar pisau yang akan
menjadi tajam; tangan pun bisa luka tergores.
Setiap
ibu ingin punya anak yang saleh. Taat pada Allah, bakti sama orang tua.
Kalau anak bisa seperti itu, ibu mana pun akan senang. Selain karena
sukses menunaikan amanah Allah, kelak di masa tua pun bisa
menenteramkan.
Namun,
tidak semua keinginan baik punya jalan gampang. Karena anak bukan
seperti mainan lilin yang bisa dibentuk cuma dengan gerakan jari tangan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan. Butuh kesabaran, juga
keteladanan. Hal itulah yang kini dirasakan Bu Cici.
Ibu
dua anak ini mungkin di antara mereka yang beruntung. Betapa tidak,
Allah menganugerahinya dua anak yang baik dan cerdas. Yang balita sudah
bisa baca Alquran, yang di SD hafal tiga juz. Subhanallah.
Namun,
kondisi itu tidak bikin Bu Cici berpuas diri. “Masih banyak yang harus
dilakukan!” ucap Bu Cici mengomentari ancungan jempol seorang temannya.
Satu
hal yang sangat ingin dilakukan Bu Cici adalah menjadikan sulungnya
bisa berdalih dengan Alquran. Dalam hal apa pun. Mulai dari urusan
sehari-hari, hingga seputar keindahan alam semesta. Semua harus
didasarkan Alquran. Di surah mana, dan ayat keberapa.
Bu
Cici berharap, sulungnya kelak bukan sekadar bisa hafal teks Alquran,
tapi juga mampu memahami dan menghubungkannya dengan dunia nyata. “Apa
nggak terlalu berat, Mi?” tanya suami Bu Cici suatu kali. Dengan mantap
Bu Cici mengatakan, “Tidak!”
Mulailah
hari-hari perjuangan buat si sulung. Mau tidak mau, ia harus akrab
dengan Alquran terjemah. Kalau dapat hadiah dari ibunya, ia bukan
sekadar harus mengucapkan ‘alhamdulillah’. Tapi, mesti bisa menyebutkan
surah dan ayat tentang itu.
Biasanya,
Bu Cici memberikan kemudahan. Sebagai awalan, ia menyebut nama
surahnya. Dan ayatnya harus dicari sendiri oleh si anak. “Cari di surah
Adh-dhuhaa!” ucap Bu Cici sambil merapikan buku-buku dongeng si bungsu.
“Ketemu?” tanya Bu Cici beberapa saat kemudian. “Ada, Mi. Di ayat
kesebelas! ‘Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur),” ujar si sulung begitu
bersemangat. Dan, Bu Cici pun mengangguk ringan.
Kalau
sedang marah pun Bu Cici tetap mengkondisikan anaknya melihat Alquran.
“Nak, kamu harus nurut apa kata Abi dan Umi,” ujar Bu Cici agak ketus.
“Ayatnya?” sergah si sulung santai. “Lihat surah Al-Israh ayat kedua
puluh tiga dan dua puluh empat. Hafalkan!” tegas Bu Cici lebih serius.
Kadang,
Bu Cici yang harus menerima pertanyaan dari si sulung. “Mi, kenapa
bulan dan matahari cahayanya beda. Ada nggak ada dalam Alquran?” ucap Si
Sulung sesaat setelah menatap cahaya bulan purnama dari balik jendela.
Deg.
Bu Cici agak gugup. Pertanyaan itu di luar dugaannya. Ia agak bingung
mau jawab gimana. Tapi, Bu Cici tidak kehilangan cara. Ia pun tersenyum
sambil berlalu meninggalkan si sulung. “Umi mau kemana?” tanya si sulung
agak heran. “Umi mau ke belakang sebentar!” jawabnya setengah
berteriak.
Saat itulah,
Bu Cici buka-buka indeks Alquran. Dahinya mulai berkerut ketika
pencarian belum juga selesai. Ia khawatir kalau si sulung mendapatinya
dalam kebingungan. Dan, “Alhamdulillah, ketemu juga!” gumam Bu Cici
sambil melangkah menuju si sulung yang masih asyik menatap bulan.
“Umi
kok lama amat!” ucap si sulung tanpa basa basi. “Ada yang Umi kerjakan
di belakang!” jawab Bu Cici ringan. “Tadi pertanyaannya apa, ya, Nak?”
tambahnya sambil berlagak lupa. Dan si sulung pun mengulangi
pertanyaannya.
Sejenak, Bu Cici seperti
berpikir keras. “Oh iya. Umi hampir lupa. Soal sinar matahari dan bulan
disebut Alquran dalam surah Yunus ayat kelima,” jawab Bu Cici tanpa
memperlihatkan kesulitan sedikit pun. Ia pun membaca ayat itu beserta
terjemahannya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)…
“Anakku.
Ayat itu menjelaskan bahwa mataharilah yang bersinar, sementara bulan
hanya bercahaya. Itulah kenapa matahari lebih terang dari bulan,” jelas
Bu Cici begitu meyakinkan. “Subhanallah!!” sambut si sulung begitu
takjub.
Karena dirasa
berhasil, Bu Cici dapat penghargaan dari suami tercinta. Hadiahnya
begitu berharga buat Bu Cici. Sebuah ponsel. Wow, sesuatu yang selama
ini cuma dalam khayalan Bu Cici.
“Alhamdulillah,
ya Allah!” ucap Bu Cici sambil sujud syukur. Sejak itu, kemana pun Bu
Cici keluar rumah, ponselnya tak pernah ketinggalan.
Hingga
suatu kali, Bu Cici tergopoh-gopoh pulang dari suatu majelis taklim
yang belum selesai. Ia ingin mengambil ponselnya yang ketinggalan.
Ketika di rumah, Bu Cici tambah bingung. Soalnya, ponselnya tidak ada di
tempat biasa.
“Nak,
kamu lihat HP Umi?” tanya Bu Cici ke sulungnya. “Lihat!” jawab si sulung
enteng. “Mana?” tanya Bu Cici cepat. “Udah dikasih pengemis!” jawab si
sulung masih dengan nada ringan. Bu Cici kaget. “Apa? Kamu kasih orang?”
sergahnya agak marah. “Kenapa, Nak?”
“Lihat surah Ali Imran ayat ke sembilan puluh dua. Hafalkan!” ucap si
sulung menirukan gaya ibunya. (Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai…)
Sumber: http://www.eramuslim.com/
TARBIYAH ANAK
Posted by mauizhhasan on Senin, 21 Februari 2011
Blog, Updated at: 08.52