Written by Anas Burhanuddin, Lc., M.A. |
Dalam sebuah
kunjungan ke sebuah pesantren tahfizh untuk anak-anak di Indonesia,
seorang dosen Universitas Islam Madinah menangis. Ia tidak tega melihat
anak-anak usia 6-12 tahun yang harus berpisah dan tinggal jauh dari
kedua orangtuanya. Menurut teori pendidikan yang ia pelajari, anak-anak
seusia mereka semestinya tidak dipisahkan dari kasih sayang ayah ibunda
mereka.
Ini Indonesia, Syaikh!
Ya,
Indonesia memang tidak sama dengan Saudi Arabia. Kesibukan orang tua,
dan terlebih lingkungan yang demikian memprihatinkan telah mendesak
para orang tua untuk memasukkan putra-putri mereka ke pesantren, bahkan
sejak masih kanak-kanak. Hal itu menjadi salah satu
pilihan yang paling masuk akal jika ingin anak-anak mereka selamat dari
dampak buruk globalisasi. Inilah udzur mereka jika memang benar mereka
menyelisihi kaidah pendidikan anak.
Di
Saudi, dengan mudah kita bisa mendapatkan anak-anak yang berjamaah
shalat Asar di masjid kampung, kemudian menghafal al-Quran sambil duduk
melingkar dengan bimbingan ustadz mereka. Sesekali, -dasar anak-anak-
mereka terlihat saling bercanda. Menyejukkan sekali pemandangan seperti
ini. Setelah itu mereka pulang ke rumah dan berinteraksi dengan orang
tua dan lingkungan mereka. Alami sekali! Lingkungan yang relatif masih
aman, ditambah adanya halaqah-halaqah tahfizh di
masjid-masjid kampung seperti ini dirasa cukup, sehingga tidak ada
dorongan untuk menyekolahkan anak di sekolah berasrama. Karenanya
jarang sekali kita temukan sekolah berasrama di sana, apalagi untuk
anak usia SD.
Potensi besar, tapi sayang….
Berbicara mengenai potensi madrasah sore, sebenarnya Indonesia tidak
kalah. Hampir setiap kampung memiliki Taman Pendidikan Al-Quran
(TPA/TPQ). TPA/TPQ ini laksana benteng yang tersebar di seluruh pelosok
negeri. Di sebagian daerah, bahkan TPA/TPQ ini dikelola dengan sangat
profesional. Hanya saja, ilmu yang diajarkan di dalamnya masih banyak
yang perlu dikoreksi. Porsi BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) sangat
besar. Waktu belajar yang hanya 1-2 jam menjadi jauh dari efisien.
Materi cerita acap kali disusupi cerita-cerita fiksi yang tidak banyak
kita rasakan manfaatnya. Adapun menyanyi, fahaddits wala haraj (kritiklah sesuka hati), apalagi
kalau dilakukan di masjid. Anak-anak yang sudah seharian bermain harus
bermain lagi di TPA. Dalam beberapa kasus yang ditemui, anak-anak
tampak terampil dalam banyak hal kecuali mengaji.
Merubah paradigma TPA.
Di kalangan masyarakat pecinta sunnah,
konsep madrasah seperti ini mulai dirubah. Anak didik lebih diarahkan
pada pengembangan potensi yang sesuai dengan usia mereka, tanpa
mengabaikan rambu-rambu syariat.. Daya hafal yang sedang begitu kuatnya
diberikan porsinya yang sesuai. Kemampuan belajar baca tulis juga diasah. Bermain boleh, tapi seperlunya, toh di rumah akan banyak main lagi.
Sebuah
TK di Solo, rata-rata tamatannya hafal juz 'Amma dan lancar baca tulis.
Tamatannya kesulitan mencari SD yang pas menampung mereka jika terpaksa
meneruskan SD di tempat lain. Di Yogya, bahkan ada TK yang rata-rata
tamatannya hafal 2 juz al-Quran. Tentu membuat minder mereka yang ketika tamat pesantren belum lancar hafalan juz 'Amma.
Pendidikan
yang Islami ternyata tidak hanya membuat anak didik unggul dalam bidang
agama. Karena anugerah Allah, dengan fasilitas dan biaya tidak
seberapa, sebuah SD di Yogya pernah meraih peringkat 1 nilai rata-rata Ujian Nasional se-Indonesia.
Beberapa contoh di atas menambah keyakinan kita bahwa pendidikan berbasis sunnah
tidak bisa di tawar lagi. Hanya saja, perubahan paradigma madrasah
seperti di atas masih sangat sedikit. Cakupannya masih terbatas pada
TKIT atau SDIT yang menerapkan belajar sehari penuh (full day school). Masih banyak sekali lapisan yang belum tersentuh perbaikan.
Kendalanya,
meskipun banyak sekolah terpadu yang menawarkan harga sangat murah,
harga tersebut masih dinilai mahal oleh sebagian besar umat Islam di
negeri kita. Di samping itu, daya tampung sekolah dan jarak yang
lumayan jauh ikut berpengaruh.
Karenanya,
pembenahan dan pemberdayaan TPA - yang sudah begitu memasyarakat sampai
ke desa-desa terpencil - sangat dibutuhkan. Salah satu yang layak kita
coba adalah menitikberatkan hafalan Al-Quran pada kurikulum TPA,
sebagaimana dilakukan di negara-negara yang memiliki tradisi ilmiah
kuat. Madrasah sore di negara-negara dengan tradisi ilmu agama kuat
berwujud halaqah-halaqah tahfizh yang dari masa ke masa telah
terbukti mencetak banyak sekali penghafal al-Quran, dan banyak dari
mereka yang menyelesaikan hafalan pada usia yang sangat belia. Padahal,
halaqah-halaqah ini hanya madrasah sore sekelas TPA, bukan pesantren.
Membandingkan hal ini dengan output TPA yang ada, rasanya tidak berlebihan kalau kita katakan
bahwa yang terjadi adalah satu bentuk pendangkalan agama dan penurunan
kualitas. Jika ada anak kecil yang memiliki banyak hafalan Al-Quran di
negeri kita, hampir bisa dipastikan bahwa ia bukanlah produk TPA yang
'umum'.
Proyek dakwah strategis.
Masing-masing
dari kita bisa memulai perbaikan ini, dengan mempelajari dari dekat
sistim dan kurikulum pengajaran Al-Quran di TK-TK pelopor, dengan
kelebihan dan kekurangannya, kemudian menerapkannya di TPA yang ada di
kampung masing-masing. Insyaallah itu akan menjadi benih
unggul. Ketika hasil pendidikan mulai nampak pada anak didik, maka para
orang tua akan semakin senang. Yang lain juga insyaallah akan
berlomba mencari 'Taman Penghafalan Al-Quran' dan meninggalkan TPA
model lama. Kecenderungan ini bahkan sudah terlihat di masyarakat. Para
orang tua rela capek dan membayar mahal asal anaknya bisa
belajar di TPA yang lebih serius meski jauh, daripada membiarkan
anaknya 'main-main' di TPA yang dekat. Orang tua yang baik mendambakan
anak yang saleh dan hafal al-Quran, bukan anak yang pintar menyanyi.
Jika
demikian. otomatis TPA model lama akan memperbaiki diri. Barangkali
pengurusnya akan mengundang anda untuk menebar hidayah di sana, atau
mereka studi banding ke TPA anda, atau diam-diam menjiplak sistim
pendidikan TPA anda yang tidak perlu diproteksi dengan hak paten.
Apapun yang terjadi, segala puji bagi Allah yang dengan izinNya amal
saleh terlaksana. Yang penting TPA-TPA kita bersih dari
pelanggaran syariah dan diridhai Allah serta menghasilkan buahnya yang
manis. Syukur kalau ke depan ada di antara kita yang bisa menyusun
kurikulum yang bisa dijadikan acuan TPA-TPA dengan paradigma baru ini,
sebagaimana kurikulum Team Tadarus AMM Yogyakarta saat ini di pakai
sedemikian luas.
Jika lembaga pendidikan agama paling mengakar ini menjadi lebih baik, insyaallah
kita bisa menatap optimis masa depan Indonesia. Kesadaran orang tua
akan pendidikan agama akan semakin tinggi karena melihat putra-putri
mereka tidak hanya bakat dalam sains, tapi juga bakat menghafal
al-Quran. Bukan hanya anak badung dan berkemampuan pas-pasan yang
mereka arahkan untuk mendalami ilmu agama. Lahirnya ulama-ulama
pembaharu dari rahim ibu pertiwi rasanya begitu dekat. Perubahan yang
dicita juga lambat laun akan merambah ke dimensi kehidupan yang lain,
karena ridha Allah yang kita kejar. Allah tidak merubah keadaan kita
sampai kita memperbaiki diri. Tanpa bermaksud meremehkan, tulisan ini
dibuat untuk perbaikan TPA yang telah banyak berjasa dan kita cintai
bersama. Wallahu a'lam. (Anas Burhanuddin, MA)
http://serambimadinah.com/ |
TPA = Taman Penghafalan Al-Quran, Sebuah Upaya Memberdayakan TPA
Posted by mauizhhasan on Kamis, 30 September 2010
Blog, Updated at: 17.41