Oleh Lhinblue
Bismillahirrahmanirrahim..
“Nadya,, ayo makan donk..”, bujuk mami yang sedari tadi tak
henti-hentinya menyodorkan sesendok nasi plus lauk kepada Nadya,
keponakanku.
Peristiwa ini mengingatkanku ketika aku kecil dulu. Tak jauh berbeda
dengan keponakanku kini, aku pun waktu kecil sulit sekali jika disuruh
makan. Bahkan tak jarang aku menyisakan makanan di piringku. Walhasil,
sisa makananku akan dihabiskan oleh mami. Mungkin mami berpikir;
”Alhamdulillah , anakku mau makan.. Biarlah sisa makananya aku yang
habiskan..”
Tak sedikit orangtua yang mengalami hal ini; anak yang sulit makan
bahkan menyisakan makanan. Lantas apa yang harus diperbuat para
orangtua terutama para ibu untuk mengatasi masalah ini?
Aku akan sedikit berbagi bagaimana aku yang sewaktu kecil suka
menyisakan makanan hingga akhirnya membiasakan diri untuk tidak
menyisakan sedikit makanan pun bahkan sebutir nasi-pun.
Mari kita cam-kan ungkapan berikut ini: Seseorang akan melakukan suatu hal dengan sepenuh hati jika ia tahu tujuan dari apa yang ia lakukan.
Begitupun dengan anak kecil. Seorang anak kecil akan melakukan sesuatu
dengan sepenuh hati jika ia mengerti betul apa yang dia lakukan, dia
tahu kenapa ia harus melakukan hal itu, termasuk menghabiskan makanan
hingga tak sebutir nasi-pun tersisa di piring.
Pada mulanya memang aku sulit jika disuruh makan, namun lambat laun
aku belajar untuk menghabiskan makanan yang telah tresedia di piring.
Tentu hal ini bukan langsung terjadi begitu saja, melainkan denga
rangkaian proses yang cukup panjang. Yuk simak rangkaian proses itu..
Mami sering membujukku untuk makan bahkan aku sering diceritakan
bagaimana dulu sewaktu mami kecil, begitu susah untuk dapat makan
sepiring nasi. Harus menumbuk padi sendiri sebelum berangkat ke
sekolah, memasaknya baru kemudian bisa makan. Maklum, sewaktu kecil
mami tinggal di pedesaan. Bahkan untuk makan sepiring nasi dengan
sebutir telur ceplok pun jarang sekali, lebih sering telur ceplok satu
dibagi-bagi dengan saudara yang lain. Mami sering menceritakan hal itu
ketika aku benar-benar susah untuk makan. Tak jarang pula beliau
menceritakan hal itu menjelang tidur. Dan di akhir ceritanya mami
berkata: “Kamu harus bersyukur mau makan tinggal nyuap aja kok susah? Gak perlu numbuk beras dulu, lauk juga udah ada.”
Sewaktu berlibur ke daerah pedesaan yang masih terlihat sawah di
kiri kanan jalan, mami pun kembali menceritakan bagaimana susahnya
petani menanam padi, mulai dari membajak sawah, menanam bibit, hingga
panen tiba dan tak jarang terjadi gagal panen. Namun berapa upah yang
didapat oleh para petani? Sangat kecil, mungkin hanya sekadar untuk
bisa makan sehari-hari sudah cukup. “Kamu gak perlu nanem padi dulu baru bisa makan kan?”
Pernah waktu itu aku melihat berita di televisi dimana seorang nenek
harus memunguti beras yang berjatuhan dari truk pengangkut beras.
Disebutkan dalam tayangan itu bahwa si nenek melakukan hal tersebut
untuk bisa makan nasi. Sungguh, kejadian itu sangat menyentuh hati
kecilku saat itu. Ditambah lagi ketika membaca Koran, aku melihat
gambar seorang anak laki-laki yang juga memunguti beras yang berjatuhan
dari truk pengangkut beras. Semakin ke sini, semakin banyak aku jumpai
berita dari televisi maupun Koran yang memberitakan tentang begitu
susahnya orang-orang untuk sekadar makan sesuap nasi. Sedangkan aku
disini, dengan mudahnya mendapatkan sepiring nasi beserta lauk, namun
sungguh kurang bersyukurnya aku yang sering menyisakan makananku di
piring.
Hingga akhirnya, aku bersilaturahim ke rumah tante yang memiliki
usaha catering. Aku bermain ke dapur. Pada sore hari kulihat seorang
ibu yang sedang memasukkan makanan sisa catering yang tidak habis
dimakan ke dalam kantung plastic. Ada tanda tanya besar dalam benakku
dan hal itu langsung aku tanyakan pada tante. Tante pun menjawab:”Ibu
itu emang udah biasa kayak gitu. Ngambilin makanan sisa catering untuk
ngasih makan anak-anaknya yang banyak. Tante juga suka ngasih makan
yang utuh ke ibu itu tapi tetep aja dia ngambilin makanan yang sisa..”
Dari sekian rangkaian proses itulah, aku menyadari bahwa betapa
kurang bersyukurnya aku jika tidak menhabiskan makananku. Banyak
orang-orang apalagi saat ini yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja
susahnya minta ampun, sementara aku dengan mudahnya mendapatkan itu
semua, hanya tinggal menyuap saja. Sungguh kurang bersyukurnya aku jika
masih menyisakan sebutir nasi di piringku. Ya, dari situlah aku
akhirnya bertekad untuk menghabiskan apapun yang ada dalam piring
hingga tak tersisa sebutir nasi-pun.
Saudaraku, sadarkah kita bahwa nasi yang kita makan adalah hasil jerih payah petani?
Akankah kita tetap tak menghabiskan nasi di piring jika kita tahu
bahwa banyak orang yang ternyata begitu sulit untuk mendapatkan sesuap
nasi?
Ada yang berkata: “kalo udah kenyang banget juga gak bisa dipaksain.
Daripada dzalim sama diri sendiri dan malah muntah. Ga pa pa lah gak
dihabiskan..”
Saudaraku, yakinlah! Itu hanyalah tipuan setan dalam pikiran kita untuk tidak menghabiskan makanan kita.
Apa yang kita lakukan berdasarkan pikiran kita. Jika pikiran kita
mengatakan hal seperti di atas maka dapat dipastikan bahwa akan lebih
banyak nasi yang kita sisakan. Namun, cobalah ubah pikiran kita:
sebanyak apapun yang ada di piring saya karena saya yang mengambilnya,
maka harus saya habiskan. Insya ALLAH walaupun sudah terasa kenyang,
kita masih sanggup untuk menghabiskannya. Tapi ingat juga bahwa dalam
makan pun tak boleh berlebihan. Maksudnya disini adalah jangan
mengambil porsi yang besar jika memang kita tak sanggup untuk
menghabiskannya.
Atau kalau memang makanan itu bukan kita yang mengambilnya sendiri,
dan porsinya terlalu besar untuk kita, maka pikirkanlah cara agar nasi
tidak terbuang, misalnya makan berdua dengan teman, dll. Intinya:
jangan pernah tinggalkan sebutir nasi-pun dalam piringmu!